![]() |
Dok. Istimewa |
Diskusi ini menjadi ruang refleksi kritis atas perjalanan awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto setelah melewati fase 100 hari pertama yang kerap dianggap sebagai masa ‘bulan madu’ politik.
Wakil Rektor Universitas Paramadina, Handi Risza Idris, menyampaikan bahwa setiap peralihan kekuasaan membawa harapan baru. Namun, harapan tersebut tidak serta-merta hadir tanpa tantangan, terutama ketika harus berhadapan dengan warisan kebijakan dari pemerintahan sebelumnya.
Menurutnya, enam bulan pertama adalah momen krusial yang mencerminkan arah serta pendekatan pemerintahan ke depan apakah akan melanjutkan pola lama atau menghadirkan pembaruan yang nyata.
Sudirman Said, Ketua Institut Harkat Negeri dan mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI periode 2014–2016, memberikan perspektif tajam mengenai arah kepemimpinan nasional dari sudut pandang indeks jarak kekuasaan atau Power Distance Index (PDI).
"Konsep ini, yang dikembangkan oleh Gerard Hendrik Hofstede, menggambarkan sejauh mana masyarakat menerima kesenjangan kekuasaan dan struktur sosial yang hierarkis," ujarnya.
Menurut Sudirman, Indonesia termasuk negara dengan indeks PDI yang tinggi, sejajar dengan negara-negara seperti India, Pakistan, dan Filipina. Konsekuensinya, pola komunikasi dalam pemerintahan cenderung top-down, ruang dialog sempit, serta pengambilan keputusan berlangsung secara sepihak oleh elit tanpa diskursus yang inklusif.
“Semakin tinggi indeks PDI, semakin sulit masyarakat mendapatkan akses terhadap partisipasi dalam proses pengambilan kebijakan. Elit memegang kendali penuh, sementara masyarakat menjadi penonton pasif," ujarnya.
Ia juga menyoroti bahwa negara dengan PDI tinggi rentan terhadap praktik nepotisme, karena distribusi kekuasaan lebih didasarkan pada kedekatan personal ketimbang kompetensi dan meritokrasi.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa tantangan terbesar bagi pemerintahan saat ini adalah menurunkan jarak kekuasaan agar lahir kepemimpinan yang lebih egaliter, terbuka terhadap dialog, serta menjunjung sistem yang adil dan berbasis kemampuan.
“Jika tidak, maka kemajuan bangsa akan terus dihambat oleh dominasi segelintir elit politik dan ekonomi yang menentukan arah negara,” tambahnya.
Mahfud MD, pakar hukum dan mantan Menko Polhukam RI periode 2019–2024 menyampaikan kritik tajam terhadap kondisi penegakan hukum selama enam bulan awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Mahfud menyebut bahwa masalah utama yang dihadapi saat ini adalah korupsi, yang menurutnya merupakan extraordinary crime yang semakin menggurita, dengan jangkauan vertikal dan horizontal yang meluas hampir ke seluruh lembaga negara.
"Korupsi hari ini tidak hanya menyentuh aspek kelembagaan, tetapi telah menciptakan jejaring kekuasaan yang kompleks dan berbahaya, termasuk di dalam sistem peradilan,” ujar Mahfud.
Ia menyoroti sejumlah kasus korupsi peradilan, termasuk kasus korupsi korporasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, di mana terdakwa yang seharusnya jelas bersalah justru dibebaskan dengan berbagai cara manipulatif.
Dua pola yang diidentifikasi adalah penggunaan alat hukum onslag (menganggap perkara bukan pidana) serta vonis ringan yang sarat pemerasan.
Lebih lanjut, Mahfud memaparkan bahwa kasus ‘Pagar Laut’ menjadi contoh nyata lemahnya komitmen terhadap penegakan hukum. Meskipun indikasi korupsi sangat kuat, proses hukum justru menyasar pada pelaku kecil seperti lurah, sementara aktor utama yang diduga merupakan bagian dari jejaring oligarki tidak tersentuh.
“Dalam kasus pagar laut, terjadi pemalsuan ratusan sertifikat tanah. Mustahil itu terjadi tanpa pejabat tinggi yang mengotorisasi. Tapi hanya satu lurah yang dijadikan tersangka dari 16 kelurahan,” tegasnya.
Mahfud juga mengkritik pernyataan aparat kepolisian yang menyebut tidak ditemukan unsur korupsi dalam kasus tersebut, meskipun Kejaksaan Agung menyatakan sebaliknya. Ia menilai, polemik ini menunjukkan lemahnya koordinasi antar penegak hukum dan terbukanya ruang intervensi dari kelompok oligarki.
Ia menyarankan agar Kejaksaan Agung mengambil alih penyelidikan kasus pagar laut tanpa perlu menunggu proses di kepolisian. Ia juga mendorong penggunaan mekanisme lintas lembaga, termasuk KPK dan pusat penanganan tindak pidana korupsi di kepolisian.
Mahfud mengapresiasi komitmen verbal Presiden Prabowo terhadap pemberantasan korupsi. Namun ia menekankan bahwa retorika tidak cukup tanpa tindakan konkret terhadap praktik korupsi yang melibatkan oligarki.
“Pidato Presiden soal anti korupsi patut dihargai. Tapi jika berhadapan dengan oligarki, komitmen itu seringkali mandek. Kasus Pertamina adalah contohnya. Korupsi senilai hampir Rp 930 triliun tidak bergerak karena mafia minyak besar ada di belakangnya,” pungkas Mahfud.
Direktur Tempo Media Group, Budi Setyarso, menegaskan bahwa tantangan terhadap kebebasan pers saat ini tidak hanya dapat dilihat dalam enam bulan masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, melainkan merupakan fenomena yang telah berlangsung selama beberapa waktu terakhir.
Menurutnya, semua penguasa pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk tidak menghendaki pers yang benar-benar bebas karena merasa tidak nyaman ketika media menyuarakan realitas di lapangan secara jujur.
Ia mengingatkan publik pada peristiwa Malari tahun 1974 di masa Presiden Soeharto, di mana 12 media dibredel karena memberitakan kerusuhan yang dianggap mengganggu stabilitas nasional. Bahkan situasi serupa terasa kembali terjadi saat ini.
“Kebebasan pers tidak hanya diperjuangkan oleh insan pers, tapi juga oleh masyarakat sipil. Itu yang terjadi pada tahun 1998. Tanpa pers yang bebas, tidak akan ada pemerintahan yang baik (good governance),” ujarnya.
Budi juga menyinggung bagaimana Tempo dan media lainnya pernah ditutup pada tahun 1994 karena pemberitaan yang dianggap mencederai kepercayaan publik terhadap pemerintah. Namun berkat tekanan dari mahasiswa dan masyarakat sipil, Tempo akhirnya kembali terbit pada 1998.
Dalam refleksinya terhadap pemerintahan saat ini, Budi menilai bahwa kebutuhan akan pers yang bebas semakin mendesak, mengingat pemerintahan yang terbentuk saat ini berangkat dari proses politik yang menyakiti konstitusi, sehingga peran media sebagai pengawas kekuasaan menjadi sangat penting.
Ia juga mengungkapkan bahwa ruang-ruang publik untuk menyuarakan pandangan berbeda dalam pembentukan kebijakan semakin menyempit.
Hal itu, menurutnya, terlihat dari merapatnya PDIP ke lingkaran kekuasaan dan penggunaan platform oleh negara untuk membungkam kritik, salah satunya dengan mendegradasi suara-suara oposisi, sebagaimana yang terjadi saat isu Taliban KPK mencuat pada 2019.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, Budi menyoroti kasus Nazaruddin di era Presiden SBY, yang mengkorupsi proyek laboratorium kesehatan dan sektor pendidikan. Tempo, menurutnya, turut andil mengungkap berbagai pelanggaran tersebut sebagai bagian dari komitmennya terhadap kebenaran dan keadilan.
“Ruang redaksi harus diberikan kebebasan penuh untuk menentukan arah dan kebijakan editorialnya. Apalagi di tengah tantangan ekonomi dan tekanan politik yang makin kuat. Beruntung, di Tempo kami tetap menjaga nilai-nilai idealisme jurnalisme,” tegas Budi.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyoroti kondisi perekonomian Indonesia yang tengah menghadapi tekanan berat, baik dari faktor eksternal maupun dinamika internal, meskipun pemerintah telah berupaya menjaga stabilitas.
Menurut Wijayanto, perekonomian fiskal tahun ini mengalami tekanan signifikan, tercermin dari penurunan sebesar 16,7% pada kuartal pertama dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
“Penurunan ini menunjukkan tantangan fiskal yang nyata, terlebih dengan hilangnya pemasukan dari dividen BUMN yang dialihkan ke Lembaga Pengelola Investasi (Indonesia Investment Authority)” ujarnya.
Di sisi pengeluaran, target memang telah tercapai, namun ia mengingatkan agar pemerintah tetap berhati-hati karena masih banyak program yang belum dijalankan secara optimal. Wijayanto juga menyoroti dinamika nilai tukar rupiah yang mengalami pelemahan terhadap mayoritas mata uang dunia.
“Kita cenderung lupa bahwa dolar AS sedang menurun secara global. Tapi rupiah justru melemah terhadap 78% mata uang dunia dalam satu bulan terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan Indonesia dalam mengelola utang sudah berkembang, namun tetap harus dicermati dengan seksama,” katanya.
Selain itu, ia menilai Indonesia tengah mengalami deindustrialisasi dini yang semakin diperparah oleh fenomena *economic financialization*, yang menyebabkan sistem ekonomi menjadi kurang efisien
"Ini membuat struktur ekonomi kita rapuh dan tidak mendukung pertumbuhan sektor riil," tambahnya.
Persoalan daya beli masyarakat juga menjadi isu krusial, terutama dengan meningkatnya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilaporkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan.
“Jumlah anggota BPJS Ketenagakerjaan yang masuk kategori siap kerja sangat jauh dari harapan. Di sisi lain, outstanding pinjaman online (pinjol) meningkat dibandingkan tahun lalu, namun nilai tukar rupiah justru turun signifikan, terutama saat periode Lebaran,” jelas Wijayanto.
Mengomentari faktor eksternal, Wijayanto mengingatkan bahwa kebijakan dagang Presiden Donald Trump saat masa jabatannya masih menimbulkan efek berkelanjutan.
Ia menyebut banyak pihak yang meyakini perang dagang yang dimulai Trump akan diikuti oleh berbagai bentuk ‘perang’ lainnya, seperti yang terjadi saat krisis COVID-19 di mana situasi tersebut dimanfaatkan oleh pihak tertentu dan dijadikan kambing hitam.
“Persepsi bahwa Trump dan tokoh seperti Elon Musk takut AS bangkrut secara fiskal juga sering kali tidak akurat. Bahkan, kita bisa melihat bahwa Presiden Rusia, Vladimir Putin, tidak tunduk pada tekanan Trump, menandakan bahwa pengaruh Trump tidak sekuat yang dibayangkan” pungkasnya.
Dengan berbagai tantangan ini, Wijayanto menegaskan pentingnya konsolidasi kebijakan ekonomi nasional yang terintegrasi dan responsif terhadap perubahan global dan domestik, guna menjaga daya tahan ekonomi Indonesia ke depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar