Dok. Istimewa |
JAKARTA | Modernisasi Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) China untuk menjadi sebuah kekuatan militer kelas dunia dalam waktu relatif singkat dianggap sebagai sebuah perkembangan yang patut menjadi perhatian bagi Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara lainnya.
Hal ini disampaikan oleh Brigjen TNI (Purn.) Victor P. Tobing, M.Si (Han), dalam diskusi dengan tema "Modernisasi Militer dan Diplomasi Pertahanan China: Peluang dan Tantangan di Asia Tenggara."
Diskusi yang diadakan oleh Forum Sinologi Indonesia, Paramadina Graduate School of Diplomacy dan Paramadina Public Policy Institute secara hibrid ini bertempat di Auditorium Firmanzah pada Senin (30/9/2024).
Apalagi seiring dengan upayanya untuk meningkatkan kapasitas militernya itu, China akhir-akhir ini cenderung menempatkan dirinya berhadap-hadapan dengan Barat, dan berpotensi menjadikan kawasan Laut China Selatan (LCS) sebagai arena pertempuran bila konflik dengan kekuatan Barat meletus pada masa mendatang.
Pada sisi lain, peningkatan kekuatan militer China berpotensi pula menambah ketegangan antara China dengan negara-negara Asia Tenggara lain yang sebagian wilayahnya diakui oleh China, meski pengakuan China itu bertentangan dengan hukum laut internasional (UNCLOS).
Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI), Johanes Herlijanto, Ph.D, menganggap posisi dampak dari proyek modernisasi angkatan bersenjata China di atas sebagai isu yang sangat penting untuk diketahui dan dipahami baik oleh masyarakat maupun pemerintah Indonesia.
“Apalagi pada Kongres Nasional Partai Komunis China (PKC) ke-20 tahun 2022 lalu, Xi mengubah target bagi terlaksananya modernisasi angkatan bersenjata dan pertahanan China yang pada awalnya tahun 2035 menjadi tahun 2027,” tutur dosen Universitas Pelita Harapan (UPH) ini.
Brigjen TNI (Purn) Victor P. Tobing dalam pemaparannya memperlihatkan bahwa modernisasi militer China bukanlah sesuatu yang tiba-tiba.
“Ide mencanangkan modernisasi militer telah ada sejak zaman modernisasi Deng Xiaoping pada tahun 1978,” tuturnya.
Dalam makalahnya, Victor juga memperlihatkan bagaimana China menjadikan sebagian wilayah LCS sebagai rantai kepulauan pertama pertahanan China, sedangkan wilayah Samudra Pasifik, dari mulai bagian utara Papua Barat, Palau, Guam, hingga ke Jepang sebagai rantai kepulauan kedua pertahanan negara itu.
Victor menduga China yang kini memiliki tiga kapal induk dan fasilitas militer di berbagai pulau yang tersebar di LCS tak akan kesulitan untuk menguasai wilayah yang menjadi rantai kepulauan pertama pertahanannya itu.
Menurut pria yang pernah bertugas di Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) itu, kehadiran kapal induk China ketiga, yaitu kapal induk bernama Fujian yang baru saja melalui uji coba beberapa bulan yang lalu, menghadirkan salah satu tantangan bagi Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lain dalam kaitan dengan modernisasi militer China.
Pembicara lainnya, Aisha Rasyidila Kusumasomantri, mengungkapkan bahwa angkatan bersenjata China kini telah menjadi salah satu militer yang sedang mengalami pertumbuhan paling pesat di dunia.
Menurut Aisha, China saat ini memiliki angkatan laut yang sangat kuat dengan sekitar 370 kapal atau kapal selam dan 140 kapal tempur permukaan laut. Angkatan bersenjata China juga didukung oleh teknologi operasi multi-domain dan sistem otonomi berbekal Artificial Intelligence (AI) dan robot.
“Namun perkembangan militer China di atas berpotensi menghadirkan tantangan bagi Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lain mengingat China saat ini berupaya menegakan pengakuan kepemilikannya, yang bertentangan dengan hukum laut internasional (UNCLOS), atas berbagai wilayah di LCS,” Paparnya.
Senada dengan Aisha, Peni Hanggarini, Dosen Hubungan Internasional Universitas Paramadina juga menyoroti perkembangan pesat militer China akhir-akhir ini.
“China seolah-olah mengurangi jumlah personil angkatan bersenjatanya, tapi militer China makin kuat dalam bidang teknologi. China menggunakan para kaum terdidik dan terlatih pada bidang teknologi informasi untuk militer mereka,” tuturnya.
Dalam pandangan Peni, perilaku China dalam hal kemiliteran dapat dianggap sangat ambisius, asertif, dan agresif (3A) yang ditopang oleh upaya untuk mengejar China Dream.
Menurutnya, selain ditujukan untuk menggapai impian mencapai kebangkitan nasional China seiring dengan usia RRC yang ke 100 pada tahun 2049, sikap 3A di atas juga didorong oleh kompetisi China dengan Amerika Serikat (AS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar