Rektor Universitas Paramadina Menilai Pemerintahan Prabowo Akan Lebih Nasionalis Dalam Ekonomi dan Politik

Rahmat Zamzami
Rabu, Juni 26, 2024 | 11:04 WIB Last Updated 2024-06-26T04:26:16Z

JAKARTA | Dalam pemerintahan baru, Prabowo Subianto akan lebih nasionalis baik dalam ekonomi maupun politik.


Hal itu disampaikan Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini dalam pengantarnya sebagai moderator dalam Diskusi Publik dengan tema “Islam dan Demokrasi” yang diadakan di ruang Granada, Universitas Paramadina, Jakarta, Selasa (25/6/2024). Pembicaranya dari University Wisconsin Prof. Eunsook Jung, Ph.D.


Dalam diskusinya, Prof. Eunsook mengatakan topik ini sangat relevan bagi Indonesia mengingat perubahan signifikan yang terjadi di Indonesia dan implikasinya bagi masa depan.


Sejak Indonesia mengalami demokratisasi pertama kali pada 1999, Pemilu demokratis kedua setelah Pemilu 1955, peran Islam dalam politik telah mengalami perubahan. Pola-pola tersebut menunjukkan kemiripan, tapi dengan peningkatan dalam populisme Islam atau yang dikenal sebagai politik identitas.


Pada Pemilu 2019, kecenderungan politik identitas lebih kuat dibandingkan dengan 2014. Pada kampanye 2013, seorang kandidat mendukung gagasan bahwa negara harus menjamin kemurnian ajaran agama dari segala bentuk penyelewengan. Pada Pemilu 2019, polarisasi semakin meningkat dengan pembagian antara populisme Islam pro dan anti-Islam. 


"Kandidat presiden kala itu menunjukkan kecenderungan populis Islam yang kuat, sementara lawannya lebih pluralis dan anti-populis Islam," katanya.


Namun kata dia, situasi berubah pada pemilu 2024. Populisme Islam dan politik identitas tampak berkurang. Semua kandidat, termasuk yang paling Islamis, tidak lagi menekankan posisi ideologis mereka, melainkan fokus pada kebijakan yang lebih umum.


Pertanyaan yang muncul adalah mengapa perubahan ini terjadi? Mengapa populisme Islam absen dalam pemilu ini, dan apa implikasinya bagi masa depan? Beberapa pihak menyebut ini sebagai akibat dari represi negara, dengan contoh seorang ulama yang dilarang pada 2017. Ada juga pandangan bahwa ini adalah hasil dari kampanye anti-radikalisasi yang berhasil.


Pada Pemilu 2024, transaksi di tingkat elit meningkat, dengan perbedaan ideologis yang dikesampingkan demi aliansi baru antara elit nasionalis dan religius. Negara tidak memiliki kekuatan pemersatu Islam, sehingga kelompok Islam lebih fokus pada membangun akar rumput daripada keterlibatan politik langsung.


"Selain itu, tidak ada isu yang memecah belah terkait Islam dalam Pemilu ini, meskipun ada protes terkait Palestina. Faktor-faktor ini menjelaskan mengapa populisme Islam absen dalam pemilu kali ini," ungkap Jung.


Banyak yang berpendapat bahwa kandidat bergerak ke tengah untuk menarik pemilih yang lebih luas. Namun, masih menjadi pertanyaan apakah mereka akan tetap di tengah, mengingat sejarah dan pragmatisme politik mereka.


"Meskipun ada kemunduran demokrasi, Indonesia masih dianggap sebagai demokrasi terbaik di Asia Tenggara. Dengan masyarakat sipil yang kuat dan lembaga pendidikan yang penting, demokrasi Indonesia masih memiliki potensi untuk tetap kokoh," terangnya.


Dosen Universitas Paramadina, Dr. Sunaryo melihat, politik yang lebih tebuka pasca orde baru, penguatan civil society dan menciptakan good governance merupakan tiga cita-cita dalam demokrasi. 


Sunaryo memaparkan, pada periode 1999 dan 2004 Indonesia sudah menikmati keterbukaan politik. Namun, sebagaimana yang kita saksikan saat ini demokrasi dan politik mengalami kemunduran. Sistem politik yang terbuka ternyata tidak melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang diharapkan dengan prinsip meritokrasi. Sistem ini diokupasi oleh para kaum pemodal yang bisa membeli suara.


Parlementary threshold tidak selalu berjalan dengan mulus. Ada situasi dimana kita semakin gamang untuk tetap seperti itu dalam konsekuensi. Saat ini, NGO mengalami pelemahan. Untuk mendapatkan donor dari pihak funding, mereka harus mendapatkan persetujuan dari kementerian dan harus sejalan dengan pemerintah. 


"Sehingga di sini menjadi EO dan menjalankan proyek dari pemerintah dan sangat sedikit untuk bertahan," paparnya. 


Persepsi korupsi di Indonesia masih tinggi dan dilakukan dengan trik yang semakin canggih agar tidak terpantau oleh KPK. Ditambah wewenang KPK semakin dikurang.


Dalam merespon keadaan demokrasi dan perpolitikan yang runyam terakhir, sikap dan perilaku masyarakat sipil muslim dengan organisasi Islam telah menciptakan ironi. Peran organisasi Islam tidak cukup mampu untuk menjaga demokrasi tetap tegak berdiri di Indonesia.


"Kegagalan ini bukan sepenuhnya kesalahan organisasi sipil Islam. Masalah utama adalah karena negara tidak memiliki komitmen kuat membangun sistem kehidupan yang demokratis," katanya.


Sehingga yang terjadi menurut Sunaryo adalah siapa yang kasih apa, praktek ini terjadi di semua level dari tingkat DPR-RI hingga DPRD. 


"Negara juga secara sengaja memapankan relasi patron-client dalam masyarakat sehingga proses emansipasi tidak berjalan," terangnya.

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Rektor Universitas Paramadina Menilai Pemerintahan Prabowo Akan Lebih Nasionalis Dalam Ekonomi dan Politik

Tidak ada komentar:

Trending Now

Iklan