Dok. Istimewa |
JAKARTA | Visi pertahanan Keamanan Indonesia ke depan perlu mempertimbangkan penguatan strategi pertahanan maritim, karena posisi Indonesia berada di lingkungan strategis yang penuh dinamika dan uncertainty.
Demikian disampaikan Dr. Peni Hanggarini pada diskusi bertajuk “Apa Visi ke Depan? Pertahanan Negara, Kedaulatan Bangsa” yang diselenggarakan Universitas Paramadina secara daring, Selasa (30/1/2024).
Menurut Peni yang juga merupakan Dosen di Universitas Paramadina ini bahwa Penguatan strategi pertahanan maritim menjadi begitu penting karena kepentingan nasional Indonesia sebagai negara kepulauan dan negara maritime.
“Indonesia memiliki potensi untuk menjadi an assertive -not aggressive-maritim power. Potensi ancaman keamanan global dari wilayah maritime dan sekitar maritime perlu dikelola dengan lebih baik serta didukung oleh teknologi,” jelasnya.
Indonesia lanjut Peni, tidak bisa dipungkiri merupakan kekuatan maritime dunia. Ia menyarankan untuk penguatan strategi pertahanan maritim harus memahami bahwa ancaman hankam harus ditanggapi dengan sistem pertahanan semesta yang mengintegrasikan kekuatan pertahanan militer dan nir militer.
“Visi pertahanan ke depan harus basic by visi pertahanan yang smart, spesifik, measurable, achievable, dan time based,” jelasnya.
Marsekal (Purn) Chappy Hakim, Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia menekankan pentingnya konsep Pertahanan Keamanan Nasional (Defense White Paper).
“Di dalamnya diuraikan tentang total defense yang terdiri dari beberapa lapis, misalnya komponen utama pertahanan, komponen cadangan, dan lainnya,” paparnya.
Konsep pertahanan keamanan nasional menurut Chappy, idealnya harus disosialisasikan agar semua orang menyadari apa tugasnya bila terjadi perang.
“Apakah di komponen utama, cadangan atau pendukung. Buku Putih Pertahanan pada 2015 sayangnya belum diuraikan dan belum juga diimplementasikan ” imbuhnya.
Masa depan pertahanan juga telah memasuki cyber world, yang menjadi domain kelima setelah Daratan, Perairan, Udara dan angkasa luar, Space Force dan Cyber Force.
Narasumber lainnya, Prof Dr Imron Cotan menjelaskan bahwa ancaman terhadap pertahanan dan keamanan, kedaulatan negara dari perspektif Cyberwar yang merupakan matra baru dari matra konvensional darat, laut, udara selama ini.
Imron menegaskan bahwa USA dan China justru memiliki agenda yang sama terhadap Indonesia, yakni bagaimana menciptakan masyarakat yang sekuler dan liberal.
“Karena mereka takut Indonesia akan menjadi Negara fundamentalis dengan penduduk yang 88 % beragama Islam. Hal ini yang jarang disorot oleh para pakar kita,” ujarnya.
Oleh karena itu lanjut Imron, USA mencoba membangun pranata-pranata yang mendukung agenda Liberalisasi dan sekularisasi itu.
“Hal itu berhasil di Jepang dan Korea Selatan, bahkan pajak tertinggi di Jepang berasal dari industri pornografi dan judi. Kalau Indonesia tidak hati-hati, maka akan terjerumus hal seperti di Jepang,” ujarnya.
Pengamat Pertahanan dan Militer, Dr. Connie Rahakundini menegaskan bahwa Indonesia harus mampu memainkan peran aktif dalam menghadapi semua tantangan arsitektur keamanan.
“Indonesia tidak bisa menghindar dari tanggung jawab keamanan dunia. Harus lebih proaktif, menjadi pemain yang berpengaruh, dan orientasi foreign policy kita harus disesuaikan untuk menjadi negara poros maritim, dirgantara dan permukaan dunia,” bebernya.
Menurut Connie ancaman Hankamnas berdasar riset Lemhanas, adalah pengaruh spillover perang dari China vs USA jika keduanya berperang pada 2037 terkait Taiwan atau lainnya.
“Jika terjadi perang USA vs China maka itu terkait dengan pengaruh 13 triliun dolar GDP akan berdampak sangat besar ke segala aspek,” ujarnya.
Pada 2023 oleh sementara negara maju, Indonesia dikategorikan sebagai Kawasan merah, yakni Kawasan yang potensial terjadi konflik.
“Ancaman keamanan di pilpres 2024 jika berjalan dengan tidak benar. Karenanya proses pilpres dan menjaga demokratisasi di Indonesia harus dilaksanakan dengan serius dan hati-hati,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar