Oleh: Andhika Wahyudiono
Pemerintah Indonesia mengusulkan kerjasama dengan negara-negara anggota ASEAN untuk berinvestasi di dalam wilayahnya, dengan tujuan utama yakni mengurangi emisi karbon dalam upaya transisi menuju energi berkelanjutan dan industri hijau.
Fakta yang patut diperhatikan adalah bahwa mencapai target ambisius dalam pengurangan emisi memerlukan dana yang tidak sedikit, dan Indonesia sadar bahwa tantangan ini tidak dapat dihadapi sendirian.
Febrio Nathan Kacaribu, yang menjabat sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal di Kementerian Keuangan, menjelaskan bahwa biaya yang dibutuhkan oleh Indonesia untuk mencapai target pengurangan emisi karbon hingga tahun 2030 mencapai angka mencolok, yakni sekitar US$ 281 miliar atau setara dengan Rp 4.215 triliun (berdasarkan kurs Rp 15.000).
Dalam konteks ini, Febrio mengungkapkan pandangannya dalam sebuah acara Seminar on Energy Transition Mechanism: ASEAN Country Updates di Hotel Mulia, Jakarta. Menurutnya, Indonesia mengakui bahwa kebutuhan dana untuk mencapai sasaran ambisius ini sangatlah besar, dan untuk alasan itu, kolaborasi lintas negara menjadi penting.
Mendefinisikan arah tindakannya, Indonesia telah menetapkan rencana konkrit dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC), yang bertujuan mengurangi emisi karbon sebesar 31,89% atau setara dengan 912 juta ton CO2 pada tahun 2030 dengan usaha domestik dan hingga 43,20% dengan dukungan dari negara-negara mitra.
Dalam upaya mencapai kebutuhan dana yang substansial tersebut, Indonesia memandang investasi dari sektor publik dan swasta sebagai kunci utama. Dengan pemikiran ini, Febrio mengajak audiens dan delegasi yang hadir dalam seminar tersebut untuk aktif berpartisipasi dalam proses investasi dan pembiayaan yang direncanakan.
Penting untuk dicatat bahwa pemerintah Indonesia telah melakukan langkah nyata dalam memberikan insentif fiskal untuk mendorong investasi dalam sektor ini. Insentif tersebut mencakup berbagai hal, seperti pengurangan pajak, fasilitas terkait pajak, dan berbagai bentuk dukungan dalam hal pajak pertambahan nilai (PPN), bea masuk, serta pajak properti.
Febrio menegaskan bahwa pemerintah Indonesia telah secara aktif membuka peluang bagi transisi menuju bisnis yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Komitmen ini diwujudkan dalam berbagai kebijakan dan langkah konkret yang telah diambil. Namun, ia juga menyoroti bahwa pemerintah tidak mampu menangani semua aspek ini secara sendirian.
Dalam upaya mendukung penurunan emisi gas rumah kaca (GRK), pemerintah telah menetapkan Penandaan Anggaran Perubahan Iklim (Climate Budget Tagging/CBT) dalam tingkatan nasional dan daerah. Sayangnya, hingga tahun 2021, total anggaran yang dialokasikan dalam CBT baru mencapai sekitar US$ 20 miliar atau sekitar 8% dari total kebutuhan hingga tahun 2030.
Dalam serangkaian tindakan ini, pemerintah Indonesia berusaha untuk mendapatkan dukungan dari negara-negara rekan di ASEAN agar mau berinvestasi di dalam wilayah negara ini. Dengan turut serta dalam usaha transisi menuju energi yang lebih ramah lingkungan dan mengembangkan industri berwawasan hijau, negara-negara anggota ASEAN dapat berperan sebagai elemen integral dalam menjawab tantangan global yang berkaitan dengan perubahan iklim dan mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
Oleh sebab itu, kerjasama ini mencerminkan semangat bersama dan kewajiban bersama dalam menghadapi permasalahan lingkungan yang mempengaruhi seluruh umat manusia.
Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia ingin mengundang negara-negara mitra di wilayah ASEAN untuk berinvestasi di dalam negeri.
Ini menjadi langkah strategis yang diambil untuk mendukung upaya transisi menuju sumber daya energi yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. Dengan mengambil bagian dalam pengembangan industri berwawasan hijau, negara-negara anggota ASEAN dapat berkontribusi secara signifikan dalam mencapai tujuan internasional terkait perlindungan lingkungan dan keberlanjutan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa tantangan perubahan iklim adalah masalah global yang memerlukan kerja sama aktif dari seluruh negara. Dengan berpartisipasi dalam inisiatif ini, negara-negara ASEAN menunjukkan keterlibatan mereka dalam upaya global untuk mengurangi emisi karbon dan mengatasi dampak perubahan iklim.
Selain itu, melalui investasi dalam sektor-sektor yang berfokus pada transisi energi dan industri hijau, negara-negara tersebut juga memainkan peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Kerjasama ini memiliki implikasi yang jauh lebih luas daripada sekadar investasi finansial. Dengan memilih untuk berinvestasi di Indonesia, negara-negara anggota ASEAN tidak hanya mengambil bagian dalam perkembangan ekonomi regional, tetapi juga mendukung langkah-langkah konkret untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Investasi dalam industri hijau dan teknologi bersih dapat membantu mengurangi emisi karbon serta menciptakan lapangan kerja baru di sektor-sektor yang berfokus pada keberlanjutan.
Kolaborasi ini sekaligus menegaskan semangat bersama untuk menghadapi tantangan global bersama-sama. Dengan mengerahkan usaha dan sumber daya untuk transisi energi dan industri hijau, negara-negara anggota ASEAN memperlihatkan tanggung jawab bersama dalam menjaga keberlanjutan planet ini bagi generasi mendatang.
Dengan memprioritaskan tujuan pembangunan berkelanjutan dan berkomitmen pada perlindungan lingkungan, kerjasama ini menjadi contoh nyata bagaimana negara-negara dapat bekerja sama untuk mengatasi permasalahan global yang bersifat lintas batas.
Oleh karena itu, langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam mengajak negara-negara ASEAN untuk berinvestasi di dalam negeri untuk mendukung transisi energi dan industri hijau adalah suatu langkah yang sangat strategis dan bermakna.
Ini bukan hanya tentang investasi finansial semata, melainkan juga tentang membangun kerjasama yang kuat dan berkelanjutan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi lingkungan dan kesejahteraan bersama.
[Dosen UNTAG Banyuwangi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar