Dok. Prof. Din Syamsuddin, Ph.D (ist) |
JAKARTA | Menurut Prof. Din Syamsuddin, Ph.D, Two States Solution adalah ide dan harapan yang realistis setelah jalur konflik militer dan diplomasi untuk menyelesaikan persoalan Palestina dan Israel telah meminta banyak korban di pihak Palestina, namun juga kelelahan psikis di kedua belah pihak.
Hal ini disampaikan Prof. Din Syamsuddin, Ph.D dalam diskusi kerjasama n Universitas Paramadina dengan Centre for Dialogue and Cooperation Among Civilizations (CDCC) yang diselenggarakan secara daring Jum'at (30/9/2022).
"Gagasan Two States Solution bagi Palestina dan Israel bukanlah ide baru tetapi gagasan lama yang merupakan kesepakatan global melalui resolusi-resolusi PBB era 1970-an. Secara historis bisa dilacak sejak awal 1930-an dengan adanya harapan agar dua negara tersebut dapat hidup berdampingan secara damai. Meski persoalan tapal batas sampai saat ini masih jadi persoalan," kata Din.
Konflik tersebut juga telah membawa dampak global berupa munculnya gerakan-gerakan fundamentalisme, radikalisme di dunia Islam oleh sebagian kecil kalangan yang mendukung Palestina maupun oleh para pengungsi Palestina, dengan muara persoalan ketidakadilan yang diderita rakyat Palestina.
"Beberapa negara OKI telah melangkah lebih maju seperti Mesir, Uni Emirat Arab, Yordania dan terakhir sedang berproses, Arab Saudi, untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. OKI juga menganjurkan Two State Solutions dalam sikap politiknya. Hubungan dagang langsung dengan Israel secara diam-diam juga telah dilakukan oleh beberapa negara Islam yang tidak mempunyai hubungan diplomatik, seperti Indonesia," lanjutnya.
Menurut Din bahwa solusi dua negara meski adalah langkah terbaik, namun menghadapi beberapa kendala serius, seperti masalah perbatasan Palestina-Israel. Palestina menginginkan tapal batas sebelum perang 1967 namun Israel menolaknya.
"Ide Solusi Dua Negara yang tiba-tiba ditawarkan PM Israel yang baru dan Joe Biden, tidak lepas dari global power shifting dengan bergesernya bandul politik global ke China sebagai new super power ekonomi. China berhasil membuka koridor ekonomi ke banyak negara terutama Asia Selatan seperti Pakistan, dan juga terkini dengan Afghanistan setelah USA pergi, disamping negara-negara anggota ASEAN," tambah Din.
"Indonesia juga harus lebih keras bersuara di forum OKI untuk menggolkan ide solusi dua negara. Meski ada kondisi global injustice dan standar ganda oleh USA dan Barat, namun kepada anggota OKI terutama yang dipandang moderat seperti Turki, Pakistan dan Maroko harus dapat membangun kemitraan strategis menghadapi USA dan Barat, terutama untuk menggolkan ide Solusi Dua Negara," jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama Ahmad Khoirul Umam, Ph.D. Dosen Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD) menyatakan bahwa dalam konteks neorealis, apa yang terjadi di Palestina dan Israel tidak terlepas dari dukungan kuat internasional termasuk gagasan Two States Solution yang disampaikan PM Israel dan Joe Biden.
Menurutnya ada perbedaan signifikan dulu dan sekarang. Kalau dulu, dunia Arab sangat solid. Beberapa kali perang Arab-Israel, dunia Arab nampak solid hingga pada era perang Yom Kippur 1973, Israel hampir saja kalah.
"Ketika itu suara dunia Arab bulat No peace, No Nego!. Namun pada hari ini di dunia Arab telah terjadi pergeseran pendirian. Beberapa negara Arab telah membuka hubungan diplomatic dengan Israel, dan aktor utama untuk itu nampaknya pihak Arab Saudi," katanya.
Pergeseran posisi dunia Arab menurut Umam, terletak pada faktor tingginya ketergantungan proteksi militer negara-negara Arab kepada USA. Terdapat Private Military Company (PMC) yang dimiliki oleh para veteran perang USA yang dipekerjakan di sejumlah negara-negara timur tengah.
"USA berhasil mengubah persepsi ancaman baru di negara-negara timur tengah. Saat ini yang menjadi ancaman baru adalah Iran. Shifting ancaman ke Iran tersebut membuat Israel lebih leluasa. Namun, masalah Palestina kemudian tidak lagi menjadi prioritas bagi politik luar negeri negara-negara Arab," imbuhnya.
Hal itu lanjut Umam, membenarkan tesis Huntington 30 tahun lalu yang menyebutkan bahwa Islam memang sebuah kesadaran besar, tetapi tidak didasarkan pada kohesi yang kuat bagi masyarakatnya.
"Hambatan utama bagi perdamaian Israel dan Palestina adalah masalah perbatasan, di mana Israel tidak mau menyerahkan batas wilayah yang didudukinya pada Perang 1967, karena masing-masing mempunyai persepsi," katanya.
Wilayah Tepi Barat Palestina telah dibangun dan dikembangkan oleh Israel dengan membangun ribuan perumahan yahudi. Israel juga tidak mau membagi ibukota Jerusalem menjadi dua, sebagaimana tuntutan pihak Palestina yang menghendaki Yerusalem Timur.
Masalah lain yang juga berat adalah 5 juta pengungsi Palestina yang terpaksa mengungsi sejak Perang 1948. Para pengungsi Palestina pasti ingin kembali ke tanah asal mereka, sementara Israel menolak karena salah satu pertimbangan, yakni perubahan komposisi penduduk, yang akan berubah pasca kembalinya para pengungsi Palestina.
Khoirul Umam yang juga Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) menekankan bahwa Global Power Shifting dengan munculnya China sebagai kekuatan ekonomi baru, harus jadi momentum penting.
"OKI harus diberdayakan untuk menggoalkan ide Solusi Dua Negara. Indonesia jelas harus berperan aktif dengan membangun sinergi aktif dengan negara-negara moderat seperti Turki, Jordania, Maroko, Emirat Arab, Qatar, Jordania dan Arab Saudi. Serta negara-negara Asia Selatan Pakistan dan Malaysia," ujarnya.
Tantangan lainnya menurutnya adalah masih terbelahnya faksi-faksi perlawanan Palestina seperti Fatah dan Hamas. Fatah menggunakan konsep sekularisme negara, namun Hamas berdasarkan pada konsep keagamaan.
"Syukur alhamdulillah, Indonesia telah selesai dengan masalah-masalah tersebut dengan menjadikan Pancasila sebagai basis dialog Kenegaraan dan Keagamaan," pungkasnya.
Editor: Ansori S
Tidak ada komentar:
Posting Komentar