Halimah Humayrah Tuanaya, Dosen Hukum Pidana dan Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak Fakultas Hukum Universitas Pamulang (dok.istimewa) |
Kasus kekekerasan seksual di lingkungan pesantren terus terjadi. Kali ini sedikitnya 20 santriwati yang masih berusia dibawah umur diduga menjadi korban pencabulan NR (42), pimpinan pondok pesantren di Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat setidaknya terdapat 11.952 kasus kekerasan anak sepanjang 2021. Dari jumlah tersebut, bentuk kekerasan yang paling banyak dialami oleh anak-anak adalah kekerasan seksual yaitu sebanyak 7.004 kasus atau 58,6 persen.
Terus terjadinya kekerasan seksual salah satunya disebabkan masalah relasi sosial dan budaya patriarki yang terus mengakar pada masyarakat Indonesia. Kekerasan seksual menjadi berlangsung lama dalam kurun waktu tertentu dan berulang-ulang.
Masalah ketimpangan relasi sosial antara korban dan pelaku, seperti hubungan antara guru, ustadz atau kiyai dengan murid atau santri membuat korban enggan, sungkan, tidak berani dan tidak berdaya melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya.
Kepolisian harus melakukan penyelidikan dan penyidikan lebih sungguh-sungguh. Mengingat pelaku adalah pimpinan pesantren yang memiliki kekuasaan hingga saat ini, maka besar kemungkinan NR masih melakukan kekerasan seksual, baik terhadap sekitar 20 korban yang telah teridentifikasi atau tidak menutup kemungkinan santriwati lainnya.
Sehingga penyidikan dan penyelidikan jangan hanya berfokus pada korban yang telah melapor. Polisi harus terus menggali kemungkinan adanya korban-korban lainnya. Hal itu penting menjadi perhatian polisi karena akan sangat berkaitan dengan penerapan undang-undang yang akan dipergunakan untuk menjerat NR.
Jika polisi berhasil mengkungkap berlangsungnya kekerasan seksual hingga pasca bulan Mei 2022, maka saya mendorong agar kepolisian menerapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) untuk kasus tersebut.
"Polresta Bandung jangan ragu untuk menjerat pelaku dengan UU TPKS," tegas Halimah, dalam keterangan tertulis di terima Redaksi serangtimur.co.id, Kamis (18/8).
Menurut Halimah, penerapan UU TPKS penting bagi korban agar mendapatkan hak pemulihan, restitusi, kompensasi, rehabilitasi dan hak-hak lainnya.
"Kendatipun penerapan UU TPKS bagi pelaku masih perlu digali lagi terkait tempus delicti (waktu dilakukannya tindak pidana), namun hak korban kekerasan seksual dalam kasus ini tetap dapat mengacu pada UU TPKS," tandasnya.
Tentunya Polresta Bandung bisa menjerat NR dengan Pasal 6 huruf C jo Pasal 15 huruf b dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan ditambah 1/3 karena NR seorang pendidik.
Penulis: Halimah Humayrah Tuanaya, Dosen Hukum Pidana dan Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak Fakultas Hukum Universitas Pamulang
Kontak: +6281296074961
Tidak ada komentar:
Posting Komentar