Dok. Adrian Wijanarko, Direktur Riset Paramadina Public Policy Institute (PPPI) |
JAKARTA | Menurut Adrian Wijanarko, Direktur Riset Paramadina Public Policy Institute (PPPI) arahan Presiden Joko Widodo terkait tingginya harga tiket pesawat dengan mendorong maskapai Garuda Indonesia menambah jumlah pesawat terkesan seperti keputusan terburu buru dan tidak tepat.
Sebagaimana hasil Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi 2022 pada tanggal 18 Agustus lalu, Presiden Jokowi menyoroti tingginya harga tiket pesawat di lapangan. Menurut laporan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, harga tiket pesawat pada bulan Juni mencatat inflasi sebesar 3.16 % month to month.
Sesudah menyinggung hal tersebut, Presiden Jokowi memerintahkan kepada Menteri terkait, yakni Menteri Perhubungan dan Menteri BUMN untuk bisa menanggapi masalah ini. Presiden Jokowi meminta Erick Thohir untuk mendorong perusahaan BUMN Garuda Indonesia untuk menambah jumlah pesawat, sehingga dapat menurunkan harga tiket pesawat.
Adrian menyatakan bahwa kenaikan harga tiket pesawat didorong oleh kenaikan harga pokok tiket pesawat seperti tingginya harga bahan bakar pesawat dan kenaikan Passenger Service Charge atau dikenal dengan Airport Tax.
Menurut data yang dimiliki oleh The International Air Transport Association, kenaikan harga pesawat tercatat pada titik tertinggi pada bulan April dan Juni. Kenaikan ini terjadi pada momen dimana terdapat pembatasan mobilitas masyarakat pasca pandemi dicabut, hari lebaran dan liburan sekolah. Walau saat ini harga bahan bakar mengalami penurunan, harga bahan bakar pesawat masih cukup tinggi dibandingkan tahun lalu.
"Pada hukum ekonomi, ketika ada kenaikan pada sisi permintaan maka akan diiringi oleh kenaikan harga. Selain itu kenaikan harga juga didorong oleh kenaikan bahan bakar pesawat dan airport tax juga," ujar Adrian.
Faktor lainnya lanjut Adrian, adalah keadaan maskapai Garuda Indonesia saat ini yang masih dibebani oleh hutang. Hutang Garuda Indonesia saat ini tercatat sebesar Rp 138 Triliun.
"Skema pembayaran hutang Garuda yang besar ini dilakukan dengan jangka panjang, seperti long-term loan dan konversi ke saham. Artinya secara hutang yang dibayarkan oleh Garuda tidak akan selesai dalam waktu pendek. Garuda harus dikelola secara professional dengan mencari sisi profitabilitas dalam setiap rute. Apalagi menurut data, margin profit hanya sebesar 4%," ungkap Adrian yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua Program Studi Manajemen Universitas Paramadina.
Adrian menilai kebijakan alternatif seperti memberikan subsisi BBM akan lebih efektif dibandingkan dengan penurunan harga tiket pesawat.
"Beban inflasi Angkutan Udara hanya menyumbang 0.03% dari total inflasi. Daripada menambahkan beban pada Garuda, lebih baik pemerintah mencari kebijakan alternatif untuk terus tetap memberikan subsisi BBM seperti pertalite, pertamax dan solar," ujarnya.
Mengutip pernyataan Menko Airlangga Hartanto per tanggal 18 Agustus harga Pertalite masih pada angka Rp 7.650 per liter walau harga keekonomiannya pada harga Rp 13.150 per liter. Sedangkan harga pertamax ada pada harga Rp 12.500 per liter dengan harga keekonomiannya sebesar Rp 15.150 per liter.
"Subsidi BBM akan lebih baik diberikan karena akan memberikan dampak domino yang lebih besar kepada masyarakat. Ketika harga Solar atau Pertalite naik ini pasti akan berdampak ke semua kalangan dengan estimasi kenaikan tingkat inflasi sampai dengan 6 atau 7 persen. Sedangkan kenaikan harga tiket hanya mempengaruhi kelompok masyarakat yang lebih sedikit," ujar Adrian.
"Tiket pesawat ini dipandang sebagai pembelian leisure. Pada situasi ekonomi saat ini pasca pandemi dan industri juga baru tumbuh kembali, perilaku keuangan masyarakat kita juga masih cenderung menyimpan uang mereka daripada jalan jalan naik pesawat," pungkas Adrian.
[Redaksi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar