JAKARTA | Sebulan telah berlalu sejak Taliban memasuki Kabul dan menguasai Afghanistan. Walau keberhasilan Taliban menggusur pemerintahan Ashraf Ghani masih dipandang sebagai misteri, namun tanda-tanda ke arah itu sudah tercium setidaknya sejak tahun 2018 lalu.
Kericuhan dalam pemilihan anggota parlemen di tahun 2018 berdampak pada pilpres 2019. Walau kembali memenangkan pemilihan presiden, namun perolehan suara Ashraf sangat sedikit.
Demikian dikatakan pengamat internasional dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Teguh Santosa, ketika berbicara dalam “Diplomatic Forum” yang digelar Voice of Indonesia RRI, di Hotel Red Top, Jakarta Pusat, Kamis pagi (16/9).
Diskusi yang bertema "New Geopolitical Map After Taliban's Return to Power" itu juga dihadiri Wakil Dubes Pakistan Muhammad Faisal Fayyaz dan Ahli Muda Sub Koordinator Asia Selatan dan Tengah Direktorat Perundingan Bilateral Kementerian Perdagangan Wisnu Widyantoro.
Teguh mengatakan, kohesivitas sosial di Afghanistan bermasalah sejak lama. Fragmentasi elit dalam beberapa tahun terakhir juga semakin menjadi.
"Banyak pihak terkejut melihat peristiwa 15 Agustus (Taliban menguasai Kabul). Tapi dari observasi saya, (keruntuhan pemerintahan Ghani) sudah dimulai sejak pemilu 2018 dan pilpres 2019," ujar Teguh Santosa yang juga Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI).
Teguh menambahkan, gagasan negara-bangsa Afghanistan semakin sulit diwujudkan karena negara itu dikelilingi sejumlah negara yang memiliki kepentingan tersendiri terhadap Afghanistan.
Terkait dengan betapa rapuhnya pemerintahan periode kedua Ashraf Ghani dapat dilihat dari kenyataan bahwa hanya sekitar 1,6 juta dari 9,7 juta pemilih yang menggunakan hak suara dalam pilpres 2019. Pilpres itu diikuti oleh 18 calon presiden.
Pemerintahan Ghani yang rapuh bertemu dengan faktor eksternal berupa keputusan Presiden AS Joe Biden menarik semua pasukan dari Afghanistan. Hal ini merupakan pelaksanaan dari janji yang disampaikannya dalam kampanye pilpres.
Selain itu, pengaruh Republik Rakyat China di kawasan juga semakin besar. Diawali dengan String of Pearl di era 2004-2005 dimana China merangkul negara - negara di kawasan Asia Selatan, kecuali India, untuk mengamankan jalur distribusi migas dari Timur Tegah.
“Pengaruh ini semakin besar setelah Xi Jinping berkuasa dan mengumumkan One Belt One Road (OBOR) yang saat ini menjadi Belt and Road Initiatives (BRI)," ujarnya.
Namun begitu, Teguh menambahkan, China juga masih berhati-hati karena Taliban berpotensi menjadi persoalan bagi China di masa depan.
China berjanji memberikan dukungan kepada Taliban apabila Taliban tidak menggunakan Afghanistan sebagai sarang teroris, tidak mengembangkan fundamentalisme, dan yang juga penting tidak mendukung gerakan separatis.
Mengenai yang terakhir ini, China tentu tidak ingin kemenangan Taliban justru bisa memperbesar gerakan separtis di Provinsi Xinjiang yang berada persis di perbatasan kedua negara.
Pakistan Paling Terdampak
Sementara Wakil Dubes Pakistan M. Faisal Fayyas mengatakan, negaranya adalah negara yang paling terdampak oleh instabilitas di Afghanistan. Berbagai konflik yang terjadi di Afghanistan selama kurang lebih empat dekade terakhir, sejak invasi Uni Soviet hingga perebutan kekuasaan oleh Taliban baru-baru ini, menjadi tantangan yang tidak mudah bagi negaranya.
"Jadi kami sangat memperhatikan apa yang terjadi di Afghanistan," ujarnya.
Ia menuturkan, Pakistan dan Afghanistan berbagi perbatasan sepanjang sekitar 2.600 kilometer. Selain berdampak secara ekonomi dan keamanan, konflik yang terjadi di Afghanistan juga melahirkan gelombang pengungsi yang tidak kecil.
Selama empat dekade terakhir, Faisal menyebut Pakistan sudah menerima lebih dari 3 juta pengungsi Afghanistan yang ditempatkan di berbagai kamp di perbatasan. Namun walau berada di kamp pengungsi, para pengungsi dari Afghanistan itu memiliki kebebasan untuk berpergian, mendapatkan pendidikan, dan berbisnis.
"Orang-orang Afghanistan sudah menjadi bagian dari masyarakat Pakistan. Tapi sumber daya Pakistan terbatas, kami negara berkembang, bukan negara maju yang bisa menerima begitu banyak pengungsi," jelas dia.
Di Pakistan sendiri, mayoritas etnis Pashtun merupakan pengungsi. Para pengungsi juga memiliki anak dan cucu sehingga populasi mereka bertambah banyak. Pemerintah kemudian membuat sistem tersendiri untuk para pengungsi, mereka memiliki tanda pengenal khusus.
Untuk itu, Islamabad mendorong komunitas internasional menjalin hubungan dengan pemerintahan baru Taliban, demi menghentikan arus pengungsi. Pakistan juga berharap para pengungsi dapat kembali ke Afghanistan.
Faisal Fayyaz menambahkan, pemerintah Pakistan terus mendorong Taliban agar merealisasikan komitmen mereka membentuk pemerintahan Afghanistan yang inklusif dan menghormati hak asasi manusia.
"Itu prioritas kami untuk berbicara dengan Taliban, agar mereka juga berbicara dengan pihak-pihak lainnya. Perdana Menteri kami (Imran Khan) mengatakan, kami tidak boleh menjauhi mereka. Kita harus mendorong mereka merealisasikan janji mereka, dan memberikan insentif," jelasnya.
(*/Redaksi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar