LQ Indonesia Lawfirm (Dok. istimewa) |
JAKARTA | Dengan suasana pandemi covid-19 saat ini, tidak hanya menghantam sektor kesehatan manusia, akan tetapi sangat berdampak buruk juga pada sektor perekonomian.
Sangat banyak usaha yang mengalami keadaan kesulitan keuangan (financial distress), baik usaha kecil menengah maupun industri besar, baik perorangan maupun perusahaan (badan hukum) mengalami keadaan tersebut.
Kesulitan keuangan yang dialami pelaku usaha tentunya berimplikasi pada kelangsungan usahanya, sehingga hal ini sangat berpotensi menyebabkan gagalnya pelaksanaan kewajiban dari pelaku usaha kepada kreditornya.
Kelalaian pemenuhan kewajiban pelaku usaha atau debitor kepada kreditornya, secara sederhana dapat dianggap sebagai sesuatu yang dapat dimaklumi, karena kegagalan tersebut merupakan ketidak sengajaan dan diluar kehendak pelaku usaha atau debitor.
Namun, ketika dilihat dari kacamata hukum, maka hal tersebut merupakan suatu celah bagi kreditor untuk mengajukan permohonan pailit terhadap debitor yang lalai malaksanakan kewajibannya.
Menurut pengamat hukum, Adi Gunawan, S.H., M.H. dari LQ Indonesia Lawfirm, Banyak perusahaan yang dimohonkan pailit ke pengadilan niaga dan berakhir dinyatakan pailit, karena pelaku usaha tidak paham dengan kepailitan itu sendiri.
"Kebanyakan dari mereka pusing setelah dijelaskan apa dan bagaimana itu kepailitan serta dampaknya, sayangnya mereka baru konsultasi ketika sudah dinyatakan pailit, harusnya mereka konsultasi sebelum dinyatakan pailit atau pemeriksaan permohonan pailit berlangsung," kata Adi Gunawan, dalam keterangan tertulisnya yang diterima redaksi serangtimur.co.id, Rabu (11/8/2021).
Adi menghimbau kepada para pemilik bisnis yang mengalami kesulitan di masa pandemik bisa menghubungi LQ Indonesia Lawfirm di 0817-489-0999 untuk berkonsultasi, karena pentingnya konsultasi untuk membantu sebuah bisnis terlepas dari pailit dan jeratan hukum pidana.
Menurutnya, ancaman kepailitan pada dasarnya menakutkan bagi setiap orang bahkan perusahaan raksasa sekalipun. Hal ini disebakan karena sejak putusan pailit diucapkan semua kewenangan debitur untuk menguasai dan mengurus harta pailit termasuk memperoleh keterangan mengenai pembukuan, catatan, rekening bank, dan simpanan debitor dari bank yang bersangkutan beralih kepada kurator (vide Pasal 24 jo Pasal 69 UU Kepailitan).
"Dengan demikian, sangat beralasan jika banyak pelaku usaha berupaya keras menghindari kepailitan tersebut," tandasnya.
Nah bagaimna jika debitor yang kesulitan keuangan kemudian lalai melaksakan kewajibannya kepada kreditornya, tetapi tidak mau jatuh pailit, apakah ada upaya yang dapat dilakukan sehingga debutor tidak jatuh pailit dan tetap dapat menjalankan kegiatan usahanya?
Upaya yang dapat dilakukan debitor adalah mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri.
Sesuai dengan Pasal 222 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa "Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor".
"Permohonan PKPU tersebut harus dilakukan oleh Advokat sesuai dengan Pasal 224 UU Kepailitan. Selai itu, apabila permohonan pailit sudah terlanjur dimohonkan oleh kreditur, debitor juga dapat keluar dari ancama kepailitan tersebut dengan mengajukan permohonan PKPU saat pemeriksaan permohonan pailit diperiksa (Pasal 229 ayat (3) dan ayat (4) UU Kepailitan)," tutup Adi Gunawan, pengamat hukum dan Anggota LQ Indonesia Lawfirm.
(*/Redaksi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar