JAKARTA | Arifin Widjaja alias Pepen meninggal dunia di RSPP Simprug pada 16 Juli 2021 karena terpapar Covid-19 di Rutan Kelas I Kabupaten Tangerang.
Arifin Widjaja yang perkaranya masih dalam tahap banding di Pengadilan Tinggi Banten dirawat di rumah sakit sejak tanggal 7 Juli 2021 setelah mengeluh demam dan berdasarkan pemeriksaan pihak rutan ternyata Arifin Widjaja positif terpapar Covid-19.
"Kami sangat menyesalkan Pak Arifin yang telah berusia lanjut ditahan dan akhirnya meninggal karena terpapar covid-19 di dalam rutan. Kami pernah meminta kepada Pengadilan dan Kejaksaan agar Pak Arifin dialihkan penahanannya menjadi tahanan kota atau tahanan rumah karena selain ia berusia lanjut 70 tahun, kami juga mengkhawatirkan Pak Arifin terpapar Covid-19 dan ternyata hal itu menjadi kenyataan. Segala upaya meminta penangguhan maupun pengalihan tahanan dengan mempertimbangkan sisi kemanusiaan telah kami lakukan dan tidak dikabulkan padahal yang bersangkutan memiliki banyak riwayat penyakit lainnya," tutur H. Onggowijaya, S.H., M.H. selaku kuasa hukum Arifin Widjaja dan keluarga, Senin (19/7/2021).
Kasus yang membelit Arifin Widjaja berawal dari transaksi tanah sekitar 53 ha di daerah Kohod Kabupaten Tangerang pada Februari 2017. Pembeli tanah yang bernama Hengki Lohanda membeli tanah tersebut dari Arifin Widjaja dengan membayar DP 30% sekitar 11,9 Miliar.
Arifin Widjaja hanya 2 kali bertemu dengan Henki Lohanda yaitu pertama kali di Restoran Jakarta Barat untuk menyepakati harga transaksi Rp. 75.000,-/m2 dan kedua kalinya saat penandatanganan PPJB di Kantor Notaris Martianis, S.H.
Sebelum transaksi, pembeli Hengki Lohanda melalui mediator bernama Syam mensyaratkan bahwa untuk pembayaran 30% dari harga transaksi harus ada Nomor NIB dari ke-22 bidang tanah tersebut, dan permasalahan timbul karena ternyata nomor yang tercantum dalam akta PPJB bukan nomor NIB tetapi adalah nomor urut hasil pencatatan peta bidang tanah yang diurus oleh Syam.
Fakta persidangan terungkap bahwa Notaris pernah menawarkan agar untuk NIB diurus oleh Notaris, namun pembeli Hengki Lohanda menolak dan lebih memilih pengurusan NIB dilakukan oleh Syam.
Arifin Wijaya sama sekali tidak tahu menahu soal NIB, ia juga mempercayakan kepada Syam sebagai mediator untuk mengurusnya bahkan telah mengeluarkan uang sebesar 250 juta untuk biaya pengukuran ulang tanah. Berdasarkan permasalahan NIB inilah Arifin Widjaja dituduh melakukan penipuan dan memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik.
"Di persidangan semua saksi mengatakan Pak Arifin tidak pernah menyuruh siapapun memasukan kata “NIB” apalagi nomor NIB yang tidak benar, oleh karenanya Pak Arifin dinyatakan oleh Pengadilan tidak terbukti memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik. Perkara ini pertama kali dilaporkan Hengki Lohanda ke Polda Metro Jaya 5 April 2017 dan penyidikan telah dihentikan (SP3) berdasarkan putusan Praperadilan 2018, anehnya Pak Arifin dilaporkan lagi di tahun yang sama dengan obyek dan bukti yang sama, sehingga beliau terjerat kasus hukum ini dan meninggal dunia," jelasnya.
"Tentunya, kami sangat sangat menyesalkan meninggalnya Pak Arifin karena seharusnya dalam perkara beliau dapat diterapkan restorative justice dimana Pak Arifin Widjaja telah mengembalikan uang 11,9 Miliar sebelum berkasnya dinyatakan lengkap (P-21) oleh kejaksaan," kata H. Onggowijaya, S.H., M.H.
Kejanggalan-kejanggalan yang terungkap di persidangan adalah : pembeli Hengki Lohanda mengaku mendapat uang pinjaman 11,9 Miliar dari P.T. SKG untuk membeli tanah dari Arifin Widjaja, akan tetapi Hengki Lohanda mengaku tidak mengenal direksi dan komisaris P.T. SKG tersebut.
"Yang lucunya adalah ketika kuasa hukum Hengki Lohanda di persidangan mengaku melampirkan mutasi rekening P.T. SKG yang ia dapat dari Hengki Lohanda sebagai bukti di kepolisian, padahal Hengki Lohanda dalam kesaksiannya menerangkan tidak mengenal direksi dan komisaris P.T. SKG yang memberikan pinjaman uang 11,9 Miliar, lalu dari siapa bukti mutasi rekening P.T. SKG itu didapatkan? Sehingga patut diduga Hengki Lohanda bukan pembeli tanah yang sebenarnya," pungkas H.Onggowijaya, S.H., M.H.
"Kami juga berharap ke depannya penegak hukum agar benar-benar memperhatikan sisi kemanusiaan dan penerapan restorative justice dengan sungguh-sungguh apalagi Indonesia saat ini dalam situasi darurat pandemi," tandasnya.
Selamat jalan Pak Arifin Widjaja semoga amal ibadahnya diterima oleh Yang Maha Kuasa, dan tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak dan para penegak hukum yang menangani perkara ini karena pada akhirnya semua akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan nantinya.
"Dan karena Arifin Widjaja meninggal dunia saat perkaranya masih dalam proses banding di Pengadilan Tinggi Banten, maka menurut undang-undang kewenangan menuntut pidana menjadi hapus. Pihak keluarga juga telah ikhlas dan memaafkan semua pihak terkait dalam perkara ini," tutup H. Onggowijaya, S.H., M.H.
(*/Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar