JAKARTA | Malang benar nasib salah satu direktur PT. Kahayan Karyacon, Leo Handoko. Belum selesai menjalani rangkaian persidangannya atas kasus kriminalisasi jilid I oleh oknum penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Mabes Polri, kini pria berusia 40 tahun itu sudah mendapat panggilan lagi untuk proses lidik oleh Dittipideksus.
Undangan menghadap ke penyidik Subdit IV Dittipideksus, AKBP Suprana, SH, MH, telah diterima Leo Handoko beberapa waktu lalu.
Perlu diinformasikan bahwa Leo Handoko, bersama tiga direksi lainnya, dilaporkan oleh Komisaris Utama PT. Kahayan Karyacon, Mimihetty Layani, ke Bareskrim Mabes Polri pada tahun 2019 lalu atas tuduhan melanggar pasal 263 dan 266 tentang pemalsuan dokumen (akta notaris perusahaan -red).
Proses kriminalisasi terhadap Leo mulai berjalan serius pada pertengahan tahun 2020 lalu, dan sejak September 2020 Leo resmi ditahan di Rutan Bareskrim Polri. Kasus kriminalisasi atas Leo itu kemudian bergulir ke PN Serang, Banten, sejak awal Januari 2021.
Jadwal pembacaan putusan hakim atas perkara yang seharusnya berlangsung Kamis, 3 Juni 2021 lalu, akhirnya diundur ke hari Kamis, 10 Juni 2021 mendatang.
Beberapa minggu menjelang pembacaan putusan, rupanya Mimihetty Layani telah membuat laporan baru di Bareskrim Polri dengan terlapor Leo Handoko, bersama tiga direksi lainnya, yakni Chang Sie Fam (ayah Leo Handoko), Feliks dan Ery Biaya (keduanya abang Leo Handoko).
Oleh sipelapor Mimihetty Layani, yang notabene istri dari Sodomoe Mergonoto (pemilik perusahaan Kopi Kapal Api-ted) Leo Handoko, dan kawan-kawan dituduh melakukan tindak pidana penggelapan dalam jabatan dan tindak pidana pencucian uang.
Seperti halnya laporan orang berduit pada umumnya, laporan Mimihetty Layani segera mendapat sambutan hangat dengan mata menghijau dari para oknum di Bareskrim Polri.
Permufakatan untuk program kriminalisasi jilid II atas Leo, dkk pun segera disusun, dan panggilan menghadap ke penyidik telah dilayangkan ke alamat para terlapor.
Disebut sebagai program kriminalisasi karena kasus ini hakekatnya adalah perkara perdata, perselisihan antara dewan direksi dan dewan komisaris, yang kemudian dicari-cari pasal di KUHPidana untuk kemudian menjerat para terlapor.
Walau tanpa alat bukti sedikitpun, para oknum penyidik yang sangat ahli itu dapat dengan ringan tanpa hati berkata, Nanti dibuktikan di persidangan saja.
Ketika fenomena hukum atas Leo Handoko tersebut disampaikan kepada Ketua Komite I DPD-RI, H. Fachrul Razi, SIP, MIP, Senator dari Aceh itu hanya berkomentar singkat, "Mereka main duit". Siapa yang main duit? Publik sudah amat paham, siapa lagi kalau bukan pelapor dan para oknum yang dilapori?
Terhadap sinyalemen Ketua Komite I DPD-RI itu, para pejabat di lingkungan Polri masih diam seribu bahasa. Setelah ditunggu lebih dari 24 jam, hingga berita ini naik tayang, belum satupun di antara mereka memberikan jawaban atas permintaan komentar terhadap tudingan Fachrul Razi itu.
Whisnu Hermawan Februanto yang menjabat Wakil Direktur Tipideksus Bareskrim Polri hanya merespon pesan WA media ini dengan mengirimkan nomor kontak Kasubdit IV Dittipideksus.
Wadir berpangkat Komisaris Besar Polisi yang menandatangani surat pemanggilan Leo Handoko, dkk itu tidak memberikan komentar apapun terkait ucapan Senator DPD-RI tersebut.
Sementara itu, Ketua Umum PPWI Wilson Lalengke, menyatakan sangat prihatin dengan kondisi lembaga penegak hukum Kepolisian Republik Indonesia.
Menurut Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 ini, moral para petugas yang diberikan kewenangan melakukan penegakan hukum di institusi Polri itu, umumnya sangat rapuh dan tidak terpuji untuk ukuran pengemban profesi polisi.
Lalengke menyitir pernyataan Salim Said beberapa waktu lalu yang mengatakan, "Tuhan pun (mereka) tidak ditakuti".
Lalengke menjelaskan bahwa kasus pemerasan dan pemalakan yang dilakukan penyidik Dittipideksus, AKBP Dr. Binsan Simorangkir, SH, MH, terhadap Leo Handoko, dkk di program kriminalisasi jilid pertama terhadap mereka adalah contoh real, faktual, dan aktual.
"Kasus sipemalak Binsan itu sesungguhnya hanyalah setitik salju di puncak gunung es yang mengambang di lautan luas. Badan gunung es yang luar biasa besarnya justru tidak terlihat, tidak terendus, tenggelam dalam sistem korup berjamaah yang sedang bercokol dalam lautan hitam dan kotor di lembaga tersebut," beber lulusan program pasca sarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, England, ini dengan mimik prihatin, Selasa (8/6/2021).
Hepeng mangator nagara on (uang mengatur negara ini). Mungkin itulah yang ada dalam benak penyidik bergelar doktor bidang hukum Binsan Simorangkir bersama gerombolan se-aliran se-jamaah korupnya itu.
Bagaimana tidak? Dengan tanpa perasaan sama sekali, yang bersangkutan memalak para terlapor Leo Handoko, dkk senilai Rp. 200 jutaan yang digunakan membangun ruko tiga pintu di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. Bahkan yang bersangkutan juga memeras Notaris Ferry Santosa Rp. 10 juta rupiah ketika melakukan penggeledahan di kantor notaris pembuat Akta PT. Kahayan Karyacon itu.
Tidak hanya penyidik Binsan, Kombespol Victor Togi Tambunan, SH, SIK juga kecipratan Rp. 20 juta atas perintah Binsan Simorangkir kepada Leo Handoko, dkk untuk menyetorkan dana ke atasannya yang saat itu menjabat Kasubdit IV Dittipideksus.
Pertanyaan liar publik, apakah mungkin hanya Binsan Simorangkir dan Togi Tambunan yang terindikasi melakukan pemerasan dan pemalakan melalui modus kriminalisasi (kasus perdata dipidanakan) dalam kasus Leo Handoko dkk versus Mimihetty Layani?
Jika penyidik beserta Kasubditnya mendapat angpaw dari para pihak yang berperkara di kisaran 200-an juta, berapa kira-kira yang diraup oleh pihak terkait lainnya di lingkaran perkara itu? Jika Leo Handoko, dkk sebagai pesakitan saja bisa dengan mudah diperas dan/atau dipalak oleh oknum - oknum itu, mungkinkah Mimihetty Layani sebagai pelapor tidak memberikan kontribusi angpaw kepada para oknum terkait perkara tersebut? Wallahualam Bissawab…
Kembali ke persoalan pemanggilan Leo Handoko, dkk atas laporan kedua Mimihetty Layani, Lalengke mengatakan bahwa dirinya sependapat dengan Ketua Komite I DPD RI, H. Fachrul Razi.
Tuduhan serius tentang penggelapan dalam jabatan, ujar tokoh pers nasional ini, adalah pasal yang dicari-cari dan dipaksakan oleh pelapor dan diaminkan oleh oknum Bareskrim Polri.
Laporan Mimihetty dapat dengan mudah melenggang masuk Bareskrim dan ditangani oleh subdit yang sama dengan laporan pertama, memunculkan banyak pertanyaan.
"Pertanyaan mendasar adalah bagaimana mungkin mengetahui adanya tindak pidana penggelapan, apa yang digelapkan, berapa volume benda atau uang yang digelapkan, dan lain-lainnya ketika kedua organ perusahaan, yakni dewan direksi dan komisaris belum melakukan Rapat Umum Pemegang Saham atau RUPS sebagai organ ketiga sebuah perseroan yang berwenang menentukan adanya rugi-laba perusahaan? Ini aneh sekali," kata Wilson Lalengke yang merupakan mantan Kasubbid Program pada Pusat Kajian Hukum Sekretariat Jenderal DPD-RI ini.
Namun, itulah unik dan canggihnya para oknum di unit Dittipideksus Bareskrim Mabes Polri. Segala cara dihalalkan untuk mencapai tujuan dan/atau mewujudkan keinginannya.
"Rekayasa kasus di satuan kerja Polri itu bukanlah hal baru dan tabu. Oknum-oknum berseragam coklat di institusi ini telah lihai dan berpengalaman melakukan rekayasa ‘yang benar jadi salah, yang salah jadi benar’. Semuanya tergantung pada kepentingan pemesan perkara," tutur Presiden Indonesia Sahara Maroko (Persisma) ini dengan perasaan masgul.
(*/Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar