Oleh: Suryadi, M.Si dan Efriza, M.Si Wasekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) dan Direktur Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP).
Seketika publik dibuat terperangah ketika ada Warga Negara Asing (WNA) lolos dari proses pencalonan dan terpilih pula sebagai Bupati Sabu Raijua, Prov. NTT. Dia adalah Orient Patriot Riwu Kore, WNA Amerika Serikat (AS).
Sebagai WNA dia pasti terdata dalam sistem data kependudukan AS. Tetapi, untuk menjadi calon bupati (Cabup) seseorang haruslah bangsa Indonesia. Mutlak!
Mendahului pembakalcalonan, artinya, ada soal-soal yang menyangkut kewarganegaraan dan kependudukan Riwu. Mengacu hal tersebut akan terkait dengan dirinya sendiri, Parpol pengusung, pemroses data kependudukkan mulai dari tingkat terbawah di daerah sampai ke Ditjen Dukcapil Kemendagri.
Barulah kemudian Komisi Pemilihan Umum (KPU) punya urusan memrosesnya. Belum sampai ke pertanyaan sah atau tidak keterpilihan Riwu, pertanyaan awal adalah siapa yang harus bertanggungjawab untuk kasus itu?
Adalah komedi penuh gelak tawa, jika yang terjadi seperti anak kecil yang terjatuh karena tersandung batu, lantas mempermasalahkan batu yang tersandung olehnya. Jadi Manusia atau "batu-kah" si panjang akal itu?
Apa yang terjadi pada Kore, memperlihatkan ada permasalahan dalam proses pendataan seorang calon kepala daerah dalam hal ini cabup Riwu. Dari proses yang dilalui, tampak rapuhnya berbagai institusi negara yang memroses pendataan seorang calon.
Akhirnya, bisa saja terjadi saling lempar tanggung jawab. Penyelenggara Pemilu, utamanya KPU bisa saja mengklaim telah melewati prosedur sesuai aturan dan memroses data Riwu seperti data kependudukkannya.
Tentu saja dengan klaim KPU semacam itu yang akan tersengat adalah Ditjen Dukcapil Kemendagri. Kerapuhan institusi negara, yang menjadi pertanyaan adalah apakah ini disengaja atau memang ini hanya unsur kelalaian. Kejadian ini pernah terjadi dalam keterpilihan menteri Archanda Tahar, yang dilantik sebagai Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) oleh Presiden Jokowi menggantikan Sudirman Said pada 27 Juli 2016.
Archandra hanya 20 hari menjabat menteri, menyusul diketahui ia memiliki kewarganegaraan ganda, WNI sekaligus warga Amerika.
Waktu itu, kewarganegaraan diproses dan jadilah ia WNI. Lalu, ia diangkat menjadi Wamen ESDM energi mendampingi Ignasius Jonan.
Dalam skala pemikiran publik yang lebih luas, dapat dipastikan telah terekam dengan jelas, Indonesia memang mengalami kerapuhan dari sisi pendataan warga negara. Bahkan, patut diyakini kasus-kasus serupa dapat saja sering terjadi.
Pertanyaan yang menyembul ke permukaan adalah apakah Indonesia kekurangan orang-orang yang berkualitas sehingga WNA dapat seketika menjadi pejabat di Indonesia? Katakanlah secara asal-usul memang seseorang itu berdarah Indonesia seperti halnya Riwu dan Archandra.
Kasus ini sebenarnya sepenuhnya memang patut menjadi tanggung jawab institusi penyelenggara Pemilu dan Dukcapil semata.
Meski begitu, telunjuk kita perlu ditujukan terhadap Partai Politik pengusung karena Riwu mencalonkan diri sebagai bupati diusung oleh Partai Demokrat, Partai Gerindra, dan PDI Perjuangan.
Proses ini menunjukkan bukan hanya proses pendataan diri Riwu yang bermasalah, tetapi juga menunjukkan bahwa Partai-partai di Indonesia makin pragmatis. Mengajukan calon hanya asumsi keterpilihan semata. Lalu, punya dana besar sehingga pendataan diri yang sungguh-sungguh tidak lagi dipermasalahkan.
KEGAGALAN PENGKADERAN
Realitas seperti itu, jelas menunjukkan kegagalan partai politik dalam melakukan proses pengkaderan, yang sudah lama terjadi dengan adanya 'kader-kader karbitan mendadak berideologi'.
Jika pengkaderan saja tak becus, bagaimana berbicara preferensi kebijakan, apakah benar-benar akan berorientasi kepentingan rakyat. Jangan-jangan tidak ada pembicaraan kebijakan yang diharapkan dari proses kandidasi seorang calon.
Keterpilihan orang asing, tidak bisa hanya diselesaikan dengan memroses menjadikan ia kembali sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) seperti Archanda Tahar.
Sebab, bisa saja terjadi lagi kasus serupa. Jika perlu ditelusuri sampai ke dalam pendanaan, seperti terkait dana asing yang dilarang diterima oleh partai politik.
Keterpilihan Riwu sebaiknya dibatalkan, jangan diproses layaknya Archanda Tahar, untuk menunjukkan Indonesia berkedaulatan. Dengan pembatalan itu, suara rakyat bukan diabaikan, tetapi kita melindungi suara rakyat serta kedaulatan negara Indonesia.
Kita juga harus menolak mentah - mentah bahwa Indonesia memang membutuhkan orang Asing dalam memerintah negara ini.
Bagaimana kalau orang-orang ISIS, HTI atau dari kelompok lain sejenis yang terlanjur ikut terproses dan memenangkan pencalonannya pula.
Patut menjadi perhatian adalah pelibatan secara dini adalah Kemenlu, Badan Intelijen Negara (BIN), Ditjen Imigrasi Kemenkumham, dan Polri. Tapi, bukan untuk mempersulit atau memperpanjang birokrasi.
Ini tak sekadar soal-soal Pemilu atau Pilkada. Ini sudah menyangkut kedaulatan Negara, Bung!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar