Pengamat Kepolisian Suryadi, M.Si |
JAKARTA | Masyarakat sebagai sumber dari Sumber Daya Manusia (SDM) sebaiknya kritis berkontribusi secara positif mendorong Polri menjadi peka profesional. Pada saat yang sama, Polri sendiri tegas berorientasi dan konsisten pada tujuan menjadi polisi profesional.
Pengamat kepolisian dari Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Suryadi, M.Si, Rabu (29/1/21) di Jakarta mengatakan, di saat reformasi berjalan sudah 23 tahun ternyata masih ada pemahaman yang keliru tentang Polisi sebagi profesi.
Polisi itu, lanjutnya, sebuah profesi. Ada keterampilan teknis kepolisian yang membuatnya ahli, berkemampuan khas di bidang pengamanan dan pelayanan yang konsisten dalam bingkai penegakan hukum.
Jika ahli, lanjut Suryadi, jamaknya bukan sekadar gaji yang bagus, tapi kesejahteraan dalam pengertian luas makin baik. Azas proporsional berlaku. Maka, bisa saja seorang Kombes dan AKP, gajinya beda, tetapi kesejahteraan sama baiknya.
Sebab, lanjutnya, sejahtera atau sebaliknya, bukan cuma ditentukan oleh gaji dan status sosial, tetapi juga dipengaruhi oleh gaya hidup dan manajemen hidup si anggota dan keluarga.
"Profesi polisi itu tidak bisa digantikan oleh profesi lain, baik karena keterampilan khas maupun undang-undang. Jadi, polisi berkarya bukan sekadar untuk gaji, kekayaan, kepangkatan dan jabatan. Semua itu konsekwensi logis dari sebuah profesi dan karena itulah polisi bisa dihargai," urai Suryadi.
Ia menegaskan hal itu terkait pemberian tentang perlakuan diskriminatif dalam Pembinaan Karir (binkar) anggota Polri. Pemberitaan tersebut meminta perhatian Kapolri baru Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo (lihat tribunnews.com, Selasa, (26/1/2021) dan detik.com, Rabu, (27/1/2021). Sigit dilantik Presiden Joko Widodo, Rabu (27/1/21) di Istana Negara. Ia menggantikan seniornya, Jenderal Pol. Idham Azis.
Munculnya pembahasan adanya diskriminasi dalam Binkar Perwira Polri lulusan Akpol dan Sekolah Inspektur Polisi (SIP), dan Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana (SIPSS) anggota Polri, lanjutnya, patut menjadi masukan bagi Polri. Hal ini bisa saja mucul sebagai letupan dari internal/anggota Polri sendiri maupun perpaduan dengan sumber eksternal.
"Itu pertanda memang ada sesuatu yang harus disempurnakan untuk menuju Polri profesional. Tidak bisa sekadar lewat komando atau perintah agar Polri tetap solid. Itu pertanda soal - soal kultur lama masih mengganggu struktur organisasi," kata pendiri dan Ketua Dewan Pembina Pusat Studi Komunikasi Kepolisian (PUSKOMPOL) itu.
Orientasi Menjadi Polisi Suryadi melihat, Polri penting segera menetapkan orientasi dan tujuan menjadi polisi profesional dimulai dari pendidikan, sepanjang menjalani karir hingga purnatugas. Masyarakat demikian juga, jangan hanya melihat Polri sebagai lapangan pekerjaan untuk mengejar kekayaan materi.
"Dengan demikian berkarir di Polri itu berjalan dalam manajemen ke-sumberdayamanusian (ke-SDM-an) yang professional pula. Bukan sepotong-sepotong. Publik atau pihak-pihak yang merasa mewakili publik pun sebaiknya ikut berkontribusi baik secara pasif maupun aktif," kata Suryadi.
Satu hal lagi, menurutnya, yang perlu segera diubah hal yang termasuk dalam kultur lama. Kultur lama Polri yaitu ketika belum menjadi sipil seperti sekarang saat institusi diwarnai oleh okum-oknum yang main kuasa, arogan, kolutif, koruptif, dan hedonistik.
Polri itu disiplinnya ketat ke dalam, kata Suryadi, tetapi itu adalah untuk kepentingan pengamanan dan pelayanan terbaik kepada masyarakat dalam bingkai penegakkan hukum. Maka, lanjutnya, pemahaman setiap anggota tentang pemimpin dan kepemimpinan bukan lagi seperti masa lalu sebelum UU No. 2/2002 tentang Kepolisian.
'Ini bukan sekadar sebutan ‘lho’, di Polri itu tidak ada lagi komandan, tapi kepala. Pemimpin itu bukan bos, pemimpin itu memberi kesempatan kepada anak buah untuk 'menggolkan bola'. Dengan itu, anggota dan institusi berprestasi baik di mata masyarakat," kata Suryadi.
Untuk itu, lanjutnya, sebaiknya Polri sejak awal menetapkan orientasi dan tujuan pendidikan di semua tingkatan, selain menyempurnakan binkar bagi anggotanya. Langkah itu akan bermanfaat bagi internal, pemahaman masyarakat sekaligus pula mengeleminasi pandangan minor seolah Polri telah diskriminatif dalam binkar.
"Jangan lupa, pastikan sudah tersosialisasi secara mudah dipahami semua orang, efektif, dan tidak elitis. Sebab, bisa saja sosialisasi sudah dilakukan, tapi tidak optimal sehingga cuma dipahami sepotong-sepotong atau sesuai kepentingan saja," urai pendiri dan Ketua Dewan Pembina Pusat Studi Komunikasi Kepolisian (PUSKMPOL) itu.
#Red
Tidak ada komentar:
Posting Komentar