SUMUT, SerangTimur.Co.Id - Pemilihan umum (Pemilu) serentak 2019 yang telah merenggut ratusan nyawa serta menimbulkan ketegangan yang tinggi di masyarakat menjadi bahan evaluasi bagi sistem pemilu kedepannya.
Hal ini disampaikan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2013-2015 saat menjadi narasumber dalam acara Silaturrahmi dan Dialog Kebangsaan dengan tema "Problematika Pemilu 2019 dalam Perspektif Hukum Positif" yang diselenggarakan Pimpinan Daerah Al Jam'iyatul Washliyah, Universitas Al Washliyah Labuhanbatu dan Majelis Daerah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MD KAHMI) Labuhanbatu di Restoran Keraton, Jalan Sisingamangaraja, Rantau Prapat, Sumatera Utara, Jum'at malam (26/4/19).
"Pemilu harus dilaksanakan sesederhana mungkin. Tidak ribet seperti sekarang," tegas Koordinator Presidium Majelis Nasional KAHMI ini.
Ia melanjutkan bahwa sejak pertama kali pemilu diterapkan tahun 1955, aturan pemilu selalu diperbaiki dan disempurnakan.
Sistem pemilu tahun 1999, lanjut Hamdan, masih proporsional tertutup. Daerah pemilihannya adalah provinsi. Keterpilihan berdasarkan kabupaten yang meraih suara terbesar dan terbanyak.
"2004 diubah dengan proporsional setengah terbuka. Calon terpilih denagn suara terbanyak jika memperoleh 100 persen dari BPP. 2009 diturunkan dari 100 persen ke 30 persen BPPP. Tapi dibatalkan oleh MK. Keterpilihan menjadi berdasarkan terbanyak penuh jadinya, sehingga terjadi era sangat liberal dalam pemilu kita," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam tersebut.
Padahal, menurut Hamdan, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) tidak menentukan secara spesifik tentang sistem pemilu.
"Yang ditentukan dalam UUD 1945 adalah adalah prinsip dasar pemilu beserta penyelenggara pemilu," tambahnya.
Untuk penyelenggaraan pemilu pun dibagi dalam tiga segmentasi, yakni sebagai pelaksana, pengawas dan dewan kehormatan sebagai pengawas perilaku penyelenggara.
"Sedangkan, untuk sistem pemilihan kepala daerah tidak diatur sistemnya apakah harus dipilih langsung atau dipilih DPRD. Semua itu hanya diatur dalam Undang-Undang," kata Hamdan.
Sehingga, lanjut Hamdan, dengan melihat kondisi kerumitan sekarang ini, pemilu kita perlu dievaluai kembali dan perlu dilakukan dengan sistem proporsional tertutup.
"Akibat pertarungan bebas sekarang ini, money politik sangat luar biasa. Tidak lagi oleh partai politik, tapi juga person dan para aktivis sangat sulit terpilih," ujarnya.
Hamdan mengatakan kita harus memikirkan kembali sistem proporsional tertutup.
"Karena dengan sistem proporsional tertutup, masyarakat dan parpol akan dihadapkan dengan pemilihan yang sederhana sekali. Pertarungan ada di parpol dan parpol yang harus diperbaiki. Parpol dibiayai oleh negara," harapnya.
Sekarang, lanjut Hamdan, sebenarnya lebih banyak uang dikorupsi karena politik liberal dibanding dengan biaya yang dikeluarkan oleh negara jika parpol dibiayai oleh negara.
"Tidak ada partai konglomerat dan tidak ada partai susah. Karena sekarang partai identik dengan uang akibat demokrasi kita yang sangat bebas," tegasnya.
Teorinya, ujar Hamdan, dalam demokrasi, rakyat yg membiayai partai. Namun, di Indonesia pejabat publik yang membiayai partai itu.
"Karena hal yang demikian parpol sangat rawan dijadikan bisnis politik. Penguasa yang membiayai dan pengusaha yang mempengaruhi kebijakan partai politik sebagai investasi politik," tutup Hamdan.
(Dede/Fh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar